Aku adalah sebutir pasir yang menetap di sebuah pantai yang sepi tak berpenghuni, tiada satu pun orang yang datang untuk bermain, memancing di tepian laut atau bersenda gurau dengan ombak yang bergulung–gulung tanpa henti dan belas kasih menerpa, menyeret teman teman serta sanak familiku yang sedang bermain di tepiannya, yang kemudian dihempaskannya mereka ke dasar biru.
Tenggelam. Tak mudah kembali ketepian untuk melaksanakan kewajiban, tugas tugas apalagi untuk mengambil hak hak mereka yang telah hilang bersama mereka. Terseret. Masuk kedalam dunia penuh keindahan dalam kerajaan laut yang abadi sampai lautan itu berubah menjadi api.
Kalian semua dapat mencari aku dengan mudah karena aku adalah sebutir pasir yang berwarna abu abu yang ada diantara pasir putih yang menghampar luas di pinggiran laut yang biru. Tetapi kadang kau bisa jumpai aku di antara pasir hitam.
Sibakkanlah pasir itu maka kau akan menemukanku sedang bercumbu mesra diantara kerang kerang yang terbenam dalam gundukan pasir hitam. Kelam. Seakan melukiskan warna dalam jiwaku, walaupun aku hanya sebutir pasir.
Gemerisik tubuh kami yang saling bersinggungan karena sang angin yang berhembus pelan menyisir pantai. Membelai kematian. Berpuluh, beratus, beribu, berpuluh ribu, beratus ribu, berjuta, bermilyar, bertriliun dan tak terhitung lagi berapa butir pasir hitam itu yang terhempas, terbawa angin. Dan saat terjadi gelombang yang sedang bergelora, maka pasir pasir putih akan terseret ke dalam laut.
Sungguh aku adalah pasir yang takkan pernah menemui hal hal semacam itu. Karena saat sang angin mulai berdesir aku langsung merubah warnaku menjadi putih dan bergabung dengan pasir putih lainnya, dan saat gelombang besar menghujam aku langsung bergegas menjadikan tubuhku hitam kelam dan langsung bersembunyi di balik kerang. Hidupku mungkin akan abadi jika aku terus menjadi pasir kelabu, setidaknya akan seperti itu. Tapi aku akan mengerti apa itu hidup diantara yang putih dan yang hitam. Hingga tua menjadi putih, tubuhku, rambutku, kumisku, jenggotku menjadi memutih kemudian rontok, jatuh berderai hingga akhirnya jiwa lepas dari raga.
Pernah aku mencoba untuk tetapkan diriku menjadi putih walau tak akan seputih kapas yang telah berfaedah untuk kehidupan. Tetapi, aku tak sanggup aku telah terbujuk oleh awan hitam yang telah menurunkan tinta hitam yang membuat tubuhku menjadi hitam. Kelam. Walau tubuhku telah menjadi hitam, tetapi tidak sampai jiwa dan hatiku ikut menjadi hitam seperti halnya dengan tubuhku.
Hatiku takkan seputih hatimu, dan hanya aku yang memiliki hati yang kelabu seperti abu. Terkadang aku ikut kursus pelatihan ilmu memutihkan diri tetapi aku juga ikut bermain di arena silam.
"aku bangga menjadi pasir kelabu" teriakku dalam kesunyian, walau tak akan ada yang mendengar.
Temanku Si Pasir Hitam, yang sudah sangat hitamnya ia berkata, "ayolah gabung bersama kami kau akan dapatkan kesenangan. "
"kesenangan apa?" tanyaku.
"semua kesenangan yang ada di dunia ini?"
"hanya di dunia?"
"ya, hanya di dunia" tegasnya.
Temanku Si Pasir Putih yang tadi diam saja menyimak aku dan Si Pasir Hitam mengoceh, kemudian angkat bicara.
"kau ikut kami saja."
"kemana?" tanyaku.
"kau ikut kami menuju jalan yang benar." Katanya dengan nada menasehati.
"jalan yang bagaimana?"
"jalan yang akan membuat hidup kita di akhirat nanti menjadi bahagia." Si Pasir Putih menjelaskan.
"bagaimana dengan hidupku di dunia?" tanyaku.
"jika kau ingin berikhtiar dan berdoa kepada Nya hidupmu akan bahagia." Jawabnya.
Benakku berkeliling mencari sebuah keputusan yang pantas untuk hidupku yang sudah sampai di mana aku bisa memilih. Jika aku memilih untuk mengikuti Pasir Hitam, maka aku akan bahagia di dunia. Dan jika aku mengikuti Pasir Putih, maka aku akan bahagia di akhirat.
Dan aku berkata untuk sebuah keputusan kepada kedua temanku yang sama sama kucintai
"Biarkanlah sang waktu yang akan menjawab semua itu"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar